Wednesday, November 29, 2017


Berbisik Berisik

Sssttt...
Mendekatlah sini
Duduk di sebelahku
Pasang telingamu
Aku ingin membisikkan sesuatu
Jangan sampai ada yang tahu
Apa lagi dia yang di balik pintu

Sssttt...
Ini jadi rahasia kita berdua saja
Jangan sampai angin mengeja
Apa lagi menduga-duga
Karena dia punya rencana
Lalu lenyaplah semua

Sssttt...
Simpan rahasia ini dalam bejana
Tutup rapat jangan sampai tercium luka
Benamkan ke dalam tanah
Biar membusuk dimakan cacing tanah

Sssttt...
Linting mulutmu rapat-rapat
Ini kabar gemparkan semesta
Jika dia tahu matilah dia
Mati merana dalam nestapa

Sssttt...
Dia datang!
Jangan berisik!

Lila Saraswaty
Kalibata, 30 November 2017
Perempuan di Batas Kota

Rambutnya legam-mayang
Derainya menjuntai-juntai tertiup angin semilir
Kaki telanjangnya menjejak pasir pantai
Bibirnya bersiut memanggil angin
Berharap angin mengantarkan lolongan hatinya

Di bibir pantai,
Sekuat tenaga dia berteriak
Menantang ombak
"Lelakiku tersandera di tanah seberang, dan aku di sini terpenjara di batas kota"

Sia-sia!
Teriakannya tertelan pekak debur ombak yang memeluk karang
Tinggal tubuhnya yang gigil gemetar
Basah oleh kerinduan tawar

Di batas kota,
Sisa gerimis masih tercium amis
Pada arakan senja yang berpeluh
Perempuan di batas kota itu masih setia menanti
Menanti wajah tak terjamah
Menanti hadir yang semata bayang
Hanya mendung
Hanya senandung
Menemaninya dalam penantian agung

Lila Saraswaty
Bekasi-Cibubur 28/11/2017
Menyapa Pagi

Selamat pagi kata...
Lewat nada-nada kata indah
Tercipta gelombang rasa
Mengoyak Sukma
Memporak porandakan nurani
Membungkam nalar
Menepikan logika
Lalu menyisakan tanya tanpa jawab

Selamat pagi mata...
Mata hadir memikat rindu
menghasut pengap di paru penantianku
Menenggelamkanku dalam gelombang semu
membekap sunyi nalarku

Selamat pagi rasa...
Rasa ini telah menyanderaku
Dalam debam hasrat yang tertunduk malu
Menyimpan khayal dalam mimpi yang menggamit resah
Dan aku memilih tersesat dalam belantara gelisah

Selamat pagi pemilik senyum sahaja...
Segelas kopi
Seikat janji
dan semata hati
Ku bukukan kepingan kisah ini
Nyata bukan imaji

Lila Saraswaty
Cibubur, 26/11/2017
Di Teras Kenangan

Tempat bertemunya cinta dan penantian.
Tempat bertemunya rindu dan keterpisahan.
Tempat bertemu gerimis dan gelisah.
Tempat kisah kasih itu bermula.

Di teras kantor
Waktu itu...
Pertemuan sejenak yang abadi.
Pertautan dua pasang mata dan renyah sapa.
Perjumpaan yang menyekat getar.
Luluh pada pesonanya yang meninggalkan wangi.

Di teras kantor
Siang itu...
Kenangan kembali menghampiri
Tanpa permisi
Membelai hangat pipiku.
Aku berhenti sejenak.
Membaui hening.
Selama ini aku salah.
Saat dia pergi.
Aku pikir ini adalah titik.
Ternyata aku masih di dalam lingkaran.

Di teras kantor
Selalu saja
mengingatkanku tentang cerita kita
Masih kusimpan rapi di sini. Di lipatan sepi.

Aah...
Lagi-lagi.
Aku terantuk kecupan kenangan tentangmu.
Sekali lagi.

Lila Saraswaty
Cibubur 22-11-2017
Cinta Sepotong Strudle

Ada manis dalam lugu senyuman.
Ada kerenyahan dalam tegur sapa.
Ada kelembutan dalam hangat tatapan.
Ada kenikmatan diam-diam menyusup dalam damba.

Saat kerinduan terlampiaskan dengan perjumpaan.
Saat segala keraguan gugur dengan pandangan.
Saat karang kegundahan terpecahkan dengan debur ombak hasrat.
Saat serpihan getar bertemu pengharapan.

Tanpa ditulis pun aku bisa membacamu.
Debar jantung bertalu-talu.
Terdengar hingga ke kalbu.
Sepasang mata menari-nari.
Mencuri pandang sampai ke relung-relung hati.

Tersenyum sendiri membaca setiap tanda cinta yang kau tinggalkan.
Seperti tanda cinta pada sepotong strudel yang kau letakkan di atas mejaku.
Siang itu.

Sudahlah!
Jera!
Cukup sampai di sini.
Karena aku tak ingin tersedak manisnya cinta yang tak pasti.

Lila Saraswaty
Cibubur, 20 Nov 2017
AKU DAN KAMU

Aku adalah kamu
Kamu adalah aku
Bahagiaku bahagiamu
Tangisku tangismu
Mataku matamu
Napasku napasmu
Rasaku rasamu

Kita sama tak bisa bersama
Kita serupa tak bisa berupa
Kita dekat tak bisa lekat
Kita jauh tak bisa menjauh
Kita satu tak bisa bersatu

Jika bersatu maka kelabu
Jika lekat maka pekat
Jika melebur maka hancur
Jika menetap maka lenyap

Aku dan Kamu
Seirama dalam rasa
Menjaga dalam doa
Menyatu dalam rindu

Lila Saraswaty
Cibubur, 7 Agustus 2015
Air Mata Hati

Air mata tak sanggup lagi terbendung
Deras mengalir membasahi pipi
Pedih yang tersimpan rapat
Sedih yang teramat perih
Menangis ku semalam
Biarkan saja air mata ini terus mengalir
sampai kering
agar esok pagi ku dapat tersenyum getir

Dimana kah kau?
Kau yang dulu membuangku de dalam kubangan lumpur
terpuruk ku di sini

Dimana kah kau?
di saat aku sangat membutuhkan pelukan dan genggaman erat menenangkan

Dimana kah kau?
Di saat hatiku lelah dan butuh bahumu tuk sejenak bersandar

Dan kau hanya diam
Diam seperti batu
Membisu


Lila Saraswaty
Cibubur, 4 Agustus 2015
KAU, AKU, DAN DIA

Bagiku kau...
Kilatan cahaya yang bangunkan tidurku
Udara yang kuhirup disetiap napasku
Darah yang memompa jantungku untuk tetap berdetak
Alunan simfoni nada rasa yang mengalun indah
Di tengah hamparan padang ilalang

Bagimu aku...
Butiran debu yang sesakkan napasmu
Ombak terjang yang hancurkan karang keakuanmu
Kabut yang halangi pandanganmu
Tali yang mengikat kakimu hingga kau sulit untuk melangkah

Bagimu dia...
Sumber mata air yang hilangkan dahagamu
Peri cantik yang akan membawamu terbang ke langit biru
Matahari yang terangi langit hatimu
Peraduan tempat menumpahkan beban risaumu

Di sudut ruang hampa ini
Aku tertunduk diam
Merasakan semua dari balik dinding kepiluan
Merasakan keterasingan
Merasakan sakit
Menelan kepedihan
Kosong kudekap
Ku tatap satu persatu bingkai-bingkai kenangan kita
Sejenak menjumput seikat masa indah kala itu
Bersamamu

Dan,
Untuk kesekian kali aku gagal menahan air mata agar tidak jatuh lagi.

Lila Saraswaty
Cibubur, 14 Oktober 2015

Apa Kabar November?

Kemarau baru saja beranjak pergi.
Lalu...
Hujan segera menapakkan kaki-kakinya.
Lewat bulir-bulir gerimis yang jatuh memeluk bumi.

Hujan di bulan November,
hadir membawa harapan baru.
Menyuburkan tunas-tunas kebahagian.
Menguatkan ranting-ranting kasih.

Apa kabar November hari ini?

Hari ini adalah hari istimewa
Hanya di hari ini, Semesta ingin menawarkan cerita hangat bahagia yang mengelopak bunga.

Hari yang dinanti...
Terlahir seseorang perempuan yang selalu menebarkan kebahagiaan dan derai tawa.
Perempuan berwajah ayu dan manis yang selalu menyapa hari dengan binar mata pelangi.

Di hari ini juga,
semesta seperti ingin merayakan riuh kebahagiaan.
Juga memanen harapan yang mengemuning.
Lalu dipesatukan dalam sebuah irama kidung doa.

Doaku...
Tetaplah menjadi bidadari,
Menebarkan kasih yang semerbak mewangi. Semoga asa, cinta dan bahagia menderas seperti derasnya hujan di bulan November.

Lila Saraswaty
Cibubur, 19 Nov 2017
Kepingan #2

Keterpisahan raga yang disatukan oleh rasa yang sama
Rasa yang buat kita selalu rasakan kehangatan dalam jarak
Apakah kamu merasakannya?
Lalu kamu jawab iya
Aku pun merasakan kehangatan itu.
Kita dekat dalam jarak yang tersekat
Kita ada dalam ketiadaan
Di Beranda Siang

Di beranda siang itu...
Selalu saja pertemuan kita diawali dengan percakapan canggung dan basi, tetapi selalu saja hati ini membuncah gaduh setiap kali berjumpa denganmu. Mulut kita berkata apa, tapi binar mata kita mengatakan bahwa kita sama-sama sedang merindu. Mendengarkan renyah sapamu. Meski hanya menempis pada getar lemah belaka, setidaknya aku percaya masih ada kepingan rindu yang kita jaga.

Di beranda siang itu...
Larik-larik senyummu mengunci bibirku, tersipu. Kita berhenti sejenak meresap senyuman. Dan kenangan itu pun mencuat keluar satu demi satu ke permukaan ingatan. Teringat waktu itu, saat kau ulurkan tanganmu dan untuk pertama kalinya aku merasakan genggaman tanganmu yang lembut namun erat. Teringat saat kita berjalan berdua ke sebuah taman istana di kota itu tanpa rencana.

Di beranda siang itu...
Hanya sekejap pertemuan kita tapi terasa abadi. Lambaian tangan kita pun menandakan bahwa saatnya kenangan indah itu dilipat rapi kembali, lalu kusimpan di dalam ruang ingatan yang kusediakan khusus untukmu.

Lila Saraswaty
Kalibata, 30 November 2017


Kepingan #1

Dalam naungan senja.
Kita duduk berdua di sebuah kedai kopi. Aku memesan kopi Avocado dan kamu memesan kopi Mandailing. Berdua kita menghabiskan senja sambil bertukar cerita tentang kisah hidup masing-masing. Tentu saja kamu adalah pendengar terbaik yang pernah aku kenal.

Kita bercerita tentang kenangan masing-masing. Aku berkata bahwa kenangan tidak akan pernah hilang baik itu kenangan manis atau pun pahit, dia akan terus hidup dan mengendap di sana, dalam ceruk ingatan kita, pada waktu itu di masa lalu. Biarkanlah kenangan masa lalu berada di sana, mengendap lalu mengerak lalu dilupakan olah waktu. Tidak mungkin kita dapat melangkah ke depan jika terus menyeret-nyeret kenangan ke masa sekarang dan masa depan, kaki menjadi berat untuk melangkah maju, sedangkan hidup harus terus berjalan.

Lila Saraswaty
Pasar Minggu, 1 Desember 2016

♥KEMULAN SWIWI♥

Aku tersesat. Kakiku sudah lelah menyusuri hutan belantara ini. Sebelumnya aku tidak pernah masuk ke dalam hutan sampai sejauh ini. Entah sudah berapa lama aku hanya berputar-putar di tempat yang sama. Aku pergi dari rumah sejak matahari masih mengintip malu dari balik awan dan sekarang kulihat arakan senja di langit telah siap mengantarkan matahari kembali ke peraduannya.

Kaki kecilku terus melangkah menyusuri hutan belantara. Dengan napas yang terengah aku paksakan tubuh kurusku terus berjalan. Aku hanya ingin kembali pulang, hanya itu yang ada dalam pikiranku, tidak yang lainnya. Tetapi semakin aku menginginkan untuk sampai ke rumah aku merasakan rumahku semakin jauh tertinggal di belakangku, aku semakin jauh terperosok ke dalam hutan yang pekat ini.

Dari kejauhan tempatku berdiri terdengar suara aliran air. Seperti mendapatkan napas baru, tergopoh-gopoh aku berlari menuju arah suara air tersebut. Tak kupedulikan lagi kakiku yang sakit dipenuhi luka terkena duri perdu dan ranting pepohonan yang menghalangi langkahku. Mataku terpana seketika ketika melihat pemandangan yang ada di depanku. Sungai mengalir di hadapanku, airnya sangat jernih, sepertinya belum pernah terjamah oleh tangan manusia, begitu jernihnya air sungai tersebut sampai-sampai aku bisa bercermin dalam riaknya. Dari tempatku berdiri, tampak dari kejauhan sebuah air terjun kecil yang sangat memesona.

Tepat di bibir sungai aku memutuskan untuk beristirahat sejenak, melepaskan lelah yang mendera dan menghilangkan dahaga yang menyiksa kerongkonganku sedari tadi. Aku meminum air sungai tersebut tersebut dengan kedua belah tanganku lalu memasukkannya ke mulutku perlahan-lahan sedikit demi sedikit. Sungai yang sangat jernih ini menggodaku untuk melangkah lebih jauh merasakan sejuk alirannya membasuh kakiku. Ketika hendak membasuh wajahku dengan sejuknya air, tiba-tiba tubuhku kehilangan keseimbangan lalu terperosok masuk ke dalam sungai. Aku tidak bisa berenang. Sekuat tenaga aku berteriak meminta pertolongan. Bodohnya diriku sia-sia saja aku berteriak, tidak ada seorang pun di tengah hutan ini. Dengan sisa kekuatan yang kupunya, aku berusaha menggapai-gapai apapun yang dapat kugapai. Tetapi semua usahaku sia-sia belaka. Entah sudah berapa banyak air yang masuk ke dalam mulut dan hidungku. Air sungai telah memenuhi paru-paruku. Dadaku sesak. Aku kehabisan napas. Tubuhku kelelahan dan tak berdaya. Pada saat aku telah memasrahkan tubuhku ditelan bulat-bulat oleh sungai. Tiba-tiba sebuah tangan dengan cepat menarik kuat tubuhku naik ke permukaan sungai lalu mengangkat dan menggendong tubuh lemahku kemudian menerbangkanku menuju tepian sungai. Dengan sisa napas yang kupunya lemah ku berkata, "sayap...kau bersayap....". Setelah itu aku tak sadarkan diri.

*****

"Apakah kamu baik-baik saja?", suara lembut itu membangunkanku. 
Tubuhku terbaring lemah di tepi sungai. Perlahan-lahan aku kumpulkan kesadaran yang sempat tercerabut dan perlahan-lahan membuka kelopak mataku. Tubuhku masih terasa sangat lemah, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun. Aku melihat di hadapanku sesosok lelaki berjubah dan berpakaian serba putih. Punggungnya.... punggungnya bersayap. Ada sayap berbulu putih di punggungnya. 
"Apakah aku telah mati dan apakah kau seorang malaikat?". Lemah aku bertanya kepadanya. 
"Kau belum mati dan aku bukanlah malaikat". Dia tersenyum.
Aku teringat cerita yang pernah diceritakan ibu sewaktu kecil sebelum tidur. Cerita rakyat tentang kerajaan di atas awan dan manusia-manusia indah bersayap yang hidup disana. Mereka terkadang turun ke bumi tepatnya ke sebuah air terjun yang berada di tengah hutan. Tetapi tidak ada satu orang pun yang pernah menemukan air terjun tersebut.

Apakah aku sedang bermimpi, tanyaku dalam hati. Manusia bersayap yang kukira hanya sebuah cerita berdiri tepat dihadapanku. Sambil mengulurkan tangannya dia tersenyum ke arahku dan berkata, "Mari aku antar kamu pulang". Tanganku langsung menyambut uluran tangannya dan mengikuti setiap langkah kakinya. Dia membawaku ke sebuah kereta kencana. Kereta kencana yang ditarik oleh dua ekor kuda putih bersayap yang letaknya tidak jauh dari tepi sungai tempatku terbaring. Laki-laki bersayap itu tetap memegang tanganku lembut dan menuntunku masuk ke dalam kereta kencananya. Kereta kencana itu berwarna biru, beralaskan permadani berbulu halus berwarna biru, dindingnya dilapisi kain sutera halus berkualitas juga berwarna biru. Sepertinya laki-laki bersayap ini sangat menyukai warna biru pikirku. Sesaat setelah aku duduk di dalamnya kereta kencana tersebut bergerak. Aku terkesiap, kereta kencana ini tidak berjalan menggilas bumi melainkan terbang ke angkasa.

Di dalam kereta kencana, kami duduk berhadapan. Aku tertunduk terdiam tidak berani sedikitpun mentatapnya walaupun hanya sekedar, namun aku sadar saat ini dia sedang menatap ke arahku. Tanpa menatap langsungpun, sekilas dapat terlihat bahwa laki-laki bersayap ini sangatlah tampan.
"Tubuhmu menggigil, kamu kedinginan. Mendekatlah padaku akan kuhangatkan kamu dengan sayapku". Suaranya halus terdengar merdu membujuk kalbu.
"Tidak apa, tubuhku dan pakaian yang aku kenakan ini akan mengering dengan sendirinya" canggung aku menolaknya.
Tetapi lelaki bersayap itu malah datang menghampiriku dan duduk di sebelahku kemudian langsung menarik tubuhku masuk ke dalam pelukannya. "Aku tidak ingin kamu mati kedinginan di dalam kereta ku ini", bisiknya yang seperti hembusan angin yang melenakan telinga. Aku terkesiap, hangat menjalar hingga terasa ke pipiku. Aku tak sanggup menolaknya. Tidak!. Sepertinya saat ini tubuhku memang kehilangan kekuatan, tidak berdaya dalam dekapan hangatnya. Aku terhipnotis seketika oleh magis pesonanya detik itu juga. Aku diam tidak bergerak. Mulutku membisu tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Hangat dekapannya menjalar ke setiap ruas tubuhku, merasakan kenyaman yang tiba-tiba hadir menyelimuti kami berdua. Dapat kudengar dengan jelas detak jantungnya mengalun indah ditelingaku.

Masih dalam pelukannya, sesaat aku tatap wajahnya, oh tidak... ternyata dia sedang menatapku juga. Sesaat yang abadi, detik itu juga aku telah terpikat dalam oleh teduh tatapan matanya dan tidak berdaya menolak percikan yang ia hantarkan kepadaku. Sepasang sayap putih miliknya masih menyelimuti lembut tubuhku, menghangatkan tubuhku hingga ke jiwaku. Waktu seperti berhenti berdetak tetapi entah kenapa detak jantungku malah semakin berdetak hebat.

Kereta kencana terbang semakin tinggi ke angkasa. Dari balik jendela, dapat ku lihat rembulan saat ini terus mengiringi setiap perjalanan kami seperti tak ingin melewatkan sedetikpun menyaksikan perjalanan kami yang sekarang ini telah menjadi bagian dari lukisan indah di langit bersama bintang gemintang. Belum pernah sebelumnya aku melihat rembulan sedekat, seindah dan sepenuh seperti malam ini. Aku berkeyakin jika saja aku mengulurkan tanganku melewati jendela ini aku dapat menyentuh rembulan yang memesona itu. Tetapi aku sedang tak ingin melakukan itu, yang ingin aku lakukan saat ini hanya terus meringkuk di dalam dekapan hangat sayapnya. Seperti janin yang ingin terus meringkuk nyaman dan hangat di dalam rahim ibunya. Aku ingin selamanya di sini. Jika ini adalah mimpi, senyatakan aku tidak ingin terbangun dari tidurku ini.

Dalam diam, kudengarkan detak jantungnya yang mengalun indah bak simfoni yang mengalun merdu di telingaku. Tidak bosan kudengarkan berulang-ulang. Dari tubuhnya menguarkan wangi yang enak sekali. Wangi tubuhnya ini bukan berasal dari aroma bunga, buah atau pepohonan yang biasa di buat wewangian, wangi tubuhnya sangat khas, belum pernah sebelumnya aku mencium wangi seenak ini. Aku hirup dalam-dalam aroma tubuhnya, memuaskan rongga paru-paruku lalu kemudian kusimpan wangi ini di dalam ceruk ingatanku sebagai wangi kesukaanku menggantikan wangi bunga mawar yang dulu sangat kusuka.

"Namaku Pangeran Biru Wangi, aku berasal dari kerajaan senja yang ada di atas awan". Dia berkata dengan suara lembut. Ini menjelaskan kenapa kereta kencananya berwarna biru.
"Namaku Marsiti, aku berasal dari Desa Kemuning yang berada di balik Bukit Nirwana.

Pelukannya semakin erat menyelimuti tubuhku. Sebenarnya aku tidak lagi menggigil, bahkan bajuku yang tadi basah telah mengering tetapi dia sepertinya enggan melepaskan dekapannya. Jika tadi aku berjuang agar tidak tenggelam ke dalam sungai. Kali ini aku dengan sengaja terjun bebas masuk ke dalam derasnya arus sungai pesonanya. Aku rela tenggelam sampai ke dasar pusaran rasamu dan menetap di sana. Tetapi kali ini aku tidak tenggelam seorang diri, kali ini dia pun turut serta tenggelam dalam pusaran rasa yang mendadak sengit. Perjalanan ini telah menghanyutkan kita berdua dalam gelombang renjana yang datangnya seperti kilat. Sesaat yang menghentakkan hati. Melesat dan langsung menghujam jantung dengan telak. Malam ini, berdua kita merangkai bait-bait sajak, tanpa jeda, tanpa spasi, dan tanpa kata-kata. Rembulan berkelindan dengan pekatnya malam, begitupun rasaku dengan rasanya menyatu dalam pekatnya cinta. Dalam desahan angin dan erangan malam, kita menyatu dalam ketelanjangan rasa yang tak bernama, tak bernyawa.

****
"Ceritakan tentang kehidupanmu", kataku.
Dia pun bercerita tentang kehidupan negeri senja yang selalu bahagia. Tidak ada peperangan. Mereka tidak pernah tua dan mati. Mereka hanya memiliki satu anak, ibu mereka mengandung selama tujuh bulan dan melahirkan anak mereka masih dalam cangkang. Setelah dua bulan di dalam cangkang, kemudian menetas dan keluarlah bayi manusia bersayap. Pasangan hidup mereka telah ditentukan semenjak mereka masih di dalam cangkang.
"Jadi kamu telah memiliki pasangan hidup?".
"Iya, aku sudah memiliki pasangan yang telah ditetapkan sejak aku masih berada dalam cangkang, dia bernama Putri Embun Jelita.

kemudian dia bercerita panjang lebar tentang Putri Embun Jelita kepadaku. Embun Jelita adalah wanita bersayap paling cerdas dan paling cantik di negeri senja. Mereka berdua sering terbang di saat senja berwarna jingga kemerahan. Disaat itu lah mereka akan memadu kasih. Mendengar cerita tentang Embun Jelita yang keluar dari mulutnya membuat hatiku menangis pilu, seketika merasakan perih tak terkira, dan aku hanya bisa diam dalam keresahan. Tiba-tiba dia menghentikan ceritanya. Ketika dia melihat air mata keluar dari celah sempit mataku lalu mengalir membasahi pipiku.
"Ini apa?", dia menyentuh air mata yang jatuh ke pipiku dengan jari tangannya dengan lembut.
"Ini adalah air mata".
"Kenapa air mata keluar dari celah matamu?", kerisauan terlukis jelas di wajahnya saat ini. 
"Terkadang manusia seperti kami akan menangis ketika bersedih, ketika hati tidak lagi dapat membendung deraan kepedihan maka akan tertumpahkan segala sedih itu lewat air mata yang keluar dari celah kecil mata kami. Begitupun ketika kami merasakan bahagia yang berderai tak terkira rasanya kami pun akan menangis karena rasa bahagia itu".
Di raut wajahnya semakin menampakkan kebingungan, karena manusia bersayap selalu hidup bahagia dan tidak pernah menangis.
"Lantas apa yang menyebabkan kamu menangis saat ini?".
"Aku menangis saat ini karena bahagia telah tenggelam dalam pusara rasamu tetapi di saat yang sama aku pun merasakan pedih karena terbelenggu dalam ketidakberdayaan".
Tahukah kamu Biru Wangi begitu cepat cinta ini hadir dan berakhir.

Hening menyusup tanpa permisi masuk ke tengah-tengah percakapan kami.
"Sebentar lagi sampai di rumahmu", dia berbisik lembut ke telingaku. Mimpi indah ini akan segera berakhir dan aku akan sangat merindukannya. Dia sepertinya tahu bahwa aku sangat menderita karena harus berpisah dengannya. Setelah sampai di dekat rumahku, dia memegang lembut tanganku dan menurunkanku perlahan dari kereta kencananya. Setelah menurunkanku, dia menatap lamat-lamat, lembut jemarinya menghapus kembali air mataku yang sedari tadi tak dapat kubendung lagi.
"Marsiti...kamu bisa melihatku terbang di atas awan ketika senja berwarna jingga bergaris merah dan ketika rembulan menampakan bulat penuh. Saat itu lah aku akan datang ke dalam mimpimu".
Kemudian dia memeluk dan mengecup keningku lalu berjalan masuk ke kereta kencananya meninggalkanku. Kereta kencanan biru terbang ke arah rembulan makin lama makin mengecil lalu menjadi titik dan akhirnya menghilang.
*****
Setiap kali langit biru berganti langit senja berwarna jingga bergaris merah. Aku duduk di pelataran rumahku. Aku melihat Pangeran Biru Wangi dan Puteri Embun Jelita terbang dengan sayapnya terbentang indah kemilau. Ada rasa cemburu dan pedih seketika menyergap hatiku ketika melihat kemesraan mereka di atas sana. Hanya diriku yang mempunyai kemampuan melihat mereka. Penduduk desa Kemuning berpikir, sejak aku menghilang waktu itu aku berubah menjadi perempuan sinting, suka melihat langit di waktu senja, kadang tersenyum sendiri dan terkadang menangis.

*****
Bulan menampakkan bentuk bulat penuh, malam itu dia datang ke dalam mimpiku dan kita berdua memadu kasih di luar alam sadarku.

Kehidupan… Kehidupan berdetak saat mentari bersinar kemilau Saat tirai malam berganti tirai langit biru Dan sayap-sayap mimpi men...