Monday, January 29, 2018

Singgih Oh Singgih

Singgih oh Singgih
Aku adalah sekuntum bunga di kubang lumpur
Melayu di dunia tanpa cahaya
Membudak nasib sampai mati
Jiwaku bagaikan kaleng minuman bekas
Tandas dilindas roda norma

Singgih oh Singgih
Ranum kupagut gelora Bambang setiap malam
Tidak kuasa ku redam
Tenaganya kuat bak kuda
Liar berpacu di sabana tubuhku
Dan kini ku tahu, setiap desahku adalah lukamu
Sakit karena cinta memantul sunyi di ujung jalan tak bertepi

Singgih oh Singgih
Apakah kau tahu?
Itu semua tak lagi seindah dulu
Dulu, ketika bias gelora melayang di padang peluh
Kini, hampa yang mendekap dalam tatap senyap
Apakah Kau pikir aku bahagia?
Tidak!
Sungguh tidak!
Lihatlah kini mataku berkaca-kaca
Menjadi terdakwa di taman kota

Singgih oh Singgih
Kenapa kini tatapanmu murung
Pedih kujelajahi rautmu yang kini bersembunyi
Diammu telah membelah langit malam
Hingga sepi kini merajam
Nuraniku berdentang sepanjang karang
Malang bukan kepalang

Singgih oh Singgih
Berlarilah di bentang jalan panjang lurus
Biarkan mentari hasut bencimu
Yang dulu setia menyulut mimpi tentangku
Dan…Biarkan aku mengerang
Setidaknya bebanku terlampiaskan

Singgih oh Singgih
Maafkan aku…
Telah meninggalkan gelisah di matamu
Telah menyisakan luka hatimu

Kalibata, 29 Januari 2018
Lila Saraswaty

Friday, January 26, 2018

Ayat-Ayat Cinta

Kini, aku hidup di dunia utopia
Seorang diri melibas asa
Tanpa hadirmu di sana
Dalam ruang penantian yang semu
Kukuh ku berdiri menunggumu
Menghitung wajtu mengukir tulus kesetiaan
Berharap perpisahan akan mengecup perjumpaan

Ditemani dinginnya malam ku pagut sepi
Dingin musim gugur menusuk hingga ke pori-pori
Daun berguguran jatuh dari ranting-ranting kering
Terbang terombang ambing tertiup angin
Dan turut membawa dirimu yang kini semata bayang
Tergopoh-gopoh ku mengejar-ngejar bayangmu
mencari-cari hingga ke pelosok mimpi
Kau telah lenyap tertelan ganasnya perang

Ayat-ayat cinta pertama menjelma lentera yang memenuhi ruang kegelisahanku
Meski tubuh fatamorgana yang kini kudekap
Kau selalu hidup dalam ada ku
Aku berjalan menyusuri aspal dingin sambil membawa kenanganmu yang telah membatu
Hatiku yang semata wayang telah kuberikan padamu, utuh
Dengan semua tentangmu yang masih menggelayut di kelopak mata
Lalu bagaimana mungkin aku bisa membagi hati dengan yang lain?

Ayat-ayat cinta kembali menyapaku
Menghadirkan sosok lain dalam alunan gesekan biola syahdu
Dan cinta kembali menguji setiaku
Sungguh kehadirnya melahirkan keraguan
Hingga ku terdesak di bibir jurang keputusan
Lalu pusat badai berkecamuk dalam pikiranku
Melupakanmu atau berdiri kokoh dalam penantian di taman hatimu?

Lila Saraswaty
Kalibata, 5 Januari 2018
Sejam Yang Lalu

Sejam yang lalu
Om Danu datang,
Cicak di langit kamar bertepuk tangan
Terjun bebas ke lantai dan bergegas sembunyi dalam celah lemari
Kecoa terbirit-birit menyusup bawah dipan
Seperti penonton konser tanpa tiket yang hendak menertawakan
adegan dan parodi kehinaan sisi gelap kemanusiaan
Poster artis dalam kelender pun tiba-tiba menutup matanya,
memilih tak peduli dengan penghianatan janji suci

Sejam yang lalu
Kau mengiba-iba di antara lipatan kenikmatan
Melenguh dalam ketidakberdayaan
"Peluk aku sekarang" bisikmu manja di telingaku
Ah... Kamu seperti bocah kecil om Danu
Tak pantas dengan usiamu yang lebih dari setengah abad
Tak pantas dengan deretan lencana di dadamu
Yang selalu kau sepuh dengan ambisi hingga mengkilap
Sama mengkilapnya dengan deretan gigimu di saat menjilat atasanmu

Sejam yang lalu
Aku melayani berahimu yang tak sampai semenit
Dahimu berpeluh
Napasmu memburu
"Ah sialan kau ujang, sudah tua rupanya kau sekarang...."
Sekuat diri aku menahan tawa
Om Danu...om Danu..
Waktu telah menggerus keperkasaanmu

Di tapal batas sandhyakala
Dalam cangkang kesendirian tak berdaya
Aku melukis rembulan dengan jemariku
Lalu Larut tenggelam dalam senyap
Jiwaku terombang ambing dalam keresahan
Dan tak terasa pipiku telah basah
Lirih ku berkata pada anak angin
"Tuhan tolong aku"

Dunia gawai, Lila n Noe
10 Januari 2018
Gincu Dalam Semangkuk Salad
Dari dalam ruang pekat
Aku berdiri di balik jendela
Memandang semesta
Pandanganku melesat jauh
Hingga ke bibir cakrawala
Awan bergulung gemulung bergerak dengan pola tak beraturan
Mengarak kenangan yang terserak
Di antara awan yang bergerak-gerak

Di pucuk kaki langit
Rindu menggantung harapan nyata perjamuan
Pada siang yang gelisah
kau tiba-tiba hadir membawa sepotong bahagia
Mengetuk pintu ruang hatiku
"Apa kabar engkau pemilik lugu mata?"
Tanyaku di ambang pintu
Lalu mempersilakan rindumu masuk

Semangkuk salad buah tersaji diantara tatap mata malu-malu
"Manis," katamu
Aku pun mengecap rasa yang sama
Manis perjumpaan kita
Lalu kita bercakap beberapa patah kenangan
Aku mengunyah setiap suara yang keluar dari bibirmu
Hati kita pun erat memagut

Di tengah perjumpaan kita yang sengit
Wangimu menyentuh lembut pipiku
Haus kukecup napasmu
Kau hadir membawa cinta yang denyutnya mendayu-dayu syahdu
Telak menaklukkanku

Sesekali aku menatap matamu
Mata yang aku ingin kecup
Ah...setiap kali aku menatap mata indahmu
Kenapa darahku tak kuasa berkompromi dengan detak jantungku

Demikianlah
Sampai ufuk menjelang
Berdua kita memungut bunga-bunga cinta
Merangkum makna perjumpaan
Tentang mata-mata yang bersuara
Tentang mimpi-mimpi yang tak berujung nyata
Tentang aku yang jatuh telak di hatimu
Tentang kamu yang seperti pusaran tanya
Tentang kita yang saling merindu
Tentang rasa yang kian menggebu

Di ujung perjumpaan
Senja hadir merampasmu dariku
Meninggalkan aku sendiri
kembali terpenjara dalam ruang sepi
Menggumuli sisa-sisa hari dengan pekat sunyi
Memunguti remah-remah perjamuan ini
Hanya wangi kenanganmu masih tertinggal di sini
Juga sisa gincumu yang tertinggal di mangkuk salad

Ah pertemuan ini
Sunguh-sunguh!
Aku telah terantuk cinta maha dahsyat
Dan memasungku dalam taman hatimu
Dan kini perlahan aku sekarat dikunyah sepi

Setelah itu: sunyi.

Lila Saraswaty
Cibubur, 14 Januari 2018
KERETA

Keretaku merambah membelah sawah
Membawa pergi sebagian jiwa-jiwa yang patah
Karena harus berpisah
Juga membawa kami yang pergi meninggalkan rumah
Tidak! Mungkin lebih tepat menyebutnya "kabur" dari tiang pancang karena perbuatan yang salah
Percintaanku dengannya di kandang sapi telah terendus hidung Pak Lurah

Keretaku melaju kian jauh
Meninggalkan kenangan yang berdebu
Juga meninggalkan ibuku
"Aku harap kau mengerti ibu....", bisikanku membentur ragu
Hanya tinggal menunggu waktu
Cepat atau lambat gadismu ini akan pergi meninggalkanmu
Gadismu yang sering kau tinggal sendiri
Ketika malam kian memekat sunyi
Gadismu yang tak pernah mengerti
Mengapa setiap mata menatap penuh benci
Mengapa setiap mulut berdengking memaki
Aku hanya bisa bertanya dalam diam sendiri
Sampai satu waktu seekor kupu-kupu hinggap di jendela rumah dan menceritakan semua tentangmu
Menatap ke arah cermin kaca buram jendela kereta
Sekelebat bayangan ibuku hadir membanjiri lorong-lorong hatiku
Dadaku terisak sesak
Mataku mengembun
Lalu mengerimis air mata
Jatuh dari sudut kecil mataku

Keretaku melaju menuju ibu kota
Ibu kota yang katanya lebih sadis dari ibu tiri
Ibu kota yang kian merias diri meski keriput wajah tak bisa lagi ditutupi
Ibu kota tempat kuli-kuli memanggul batu kali
Dan sebagian perempuan telanjang memuaskan laki-laki
Dengan hanya berbekal sekerat tekad dan senampan harapan
Berdua mencoba mengais asa di belantara kota
gelisah kian basah dalam dadaku
Takut kian menggelayut hatiku
Cemas kian meremas jiwaku
Dan kini keraguan menjajah pikiranku
Dapatkah kami bertahan hidup di sana....

Keretaku menerabas melibas kalut
Termenungku dalam buaian lamun
Bambang duduk tepat disebelahku
Terlelap dalam mimpinya yang rapuh
Menggenggam jemariku erat

Lila Saraswaty
Kalibata, 14 Januari 2018
Aku Adalah Korban Pelecehan

Tahun 2004
Stasiun Universitas Indonesia

Pagi itu seperti biasa
Aku berangkat ke kantor dengan menggunakan moda kereta
Aku duduk di bangku kusam peron
Menunggu kereta yang usang
Ditemani wajah-wajah cemas penumpang
Wajah-wajah renta penjual asongan
Wajah-wajah pedih para gelandangan
Wajah-wajah jenuh petugas penjual tiket
Dan sisa kepul asap cerutu

Pagi itu seperti biasa
Jadwal keberangkatan kereta terlambat
Membuat peron penumpang kian padat
Dorong mendorong
Injak menginjak
Sikut menyikut
menjadi sebuah pemandangan yang biasa
Empati telah ditendang jauh-jauh
Simpati telah ditanggalkan dari tubuh nurani
Yang kini melekat tinggalah ego merajai diri

Setelah kereta yang kesekian
Akhirnya aku dapat masuk ke sebuah gerbong yang pengap dan gelap
Desakan brutal penumpang membuatku kian terdesak melesak ke dalam
Entah bagaimana ceritanya
Kini aku terjepit di antara pria-pria bertubuh kekar dan berwajah sangar
Selang beberapa saat
Ku pikir tidak ada yang aneh
Ini sudah biasa terjadi di dalam gerbong yang penuh sesak
Berdesak-desakan
Berjelal-jejalan
Berhimpit-himpitan
Hingga selang beberapa stasiun
keanehan mulai menghampiri benakku
Aku merasakan ada yang aneh
Tangan laki-laki di belakangku tiba-tiba menjamah pahaku lalu naik ke pinggangku
Lalu sesuatu yang keras mendorong-dorong
Menusuk-nusuk bagian belakangku
Aku tak dapat melihat wajah lelaki yang ada dibelakangku itu
Hanya nafasnya yang sesekali menderu di telingaku
Seketika aku tersentak
Ada yang tidak beres
Ada yang tidak wajar
Sekuat tenaga aku memberontak
Melepaskan diriku dari cengkramannya
Tetapi semakin kuat aku melawan semakin kuat cengkramannya
Aku membentak
dia bergeming tak bergerak
Aku berteriak
Tetapi kerongkonganku tercekat
Aku menatap orang-orang di sekelilingku
Mereka diam seperti batu
Tak peduli terhadap apa yang tengah menimpaku
Tiba-tiba aku merasa asing dengan duniaku
Ketakutan kini menjalari pikiranku

Aku berdoa agar pertolonganNya datang padaku
Dan entah dari mana seketika kekuatan itu hadir
Aku injak kakinya
Aku sikut perutnya
Aku dorong tubuhnya
Laki-laki itu mengaduh
Di saat itu aku melihat ada celah sempit untuk kabur
Sekuat tenaga aku beringsut keluar dan turun dari kereta

Setelah turun dari kereta yang bak neraka itu
Aku duduk menenangkan diriku
Aku menangis meratapi diriku
Menjerit pilu dalam hatiku
Terisakku sendiri di sudut stasiun
Tiba-tiba aku merasa tak utuh lagi
Ada yang tercerabut
Ada yang terkoyak
Jiwaku....

Aku adalah seorang korban pelecehan
Ini adalah ceritaku yang memilukan
Cerita yang telah lama ku kubur dalam ingatan
Tetapi tak bisa ku hapus dari memori
Hingga saat ini


Jakarta, 22 Januari 2018
Lila Saraswaty
Diorama Angin
Dia duduk di bangku taman. Menyaksikan angin merayu ranting-ranting pohon agar mau melepaskan daun-daunnya. Di tanah angin memainkan helai demi helai kenangan yang tak jua mengering.

Dia duduk di bangku taman. Terdengar sayup-sayup gemericik air kali bernyanyi memecah sunyi. Tanpa mengenal rasa jenuh itu. Bersama angin membawa jejak-jejak kerinduan menuju pusara cinta.

Dia duduk di bangku taman. Merasakan angin mengusap bibir, pipi, dan rambutnya yang telah memutih. Mendengarkan desau angin berbisik di telinga
"Masihkah kau merindukannya?
Dia yang kini telah terbaring di bawah Kamboja."

Jakarta, 22 Januari 2018
Lila Saraswaty
Membakar Kenangan
Di depan perapian
Ia duduk memeluk diri
Terpaku tatapannya sendu
Sendat napasnya berat
Pelupuk matanya menyiratkan kepiluan
Sempurna ia tengah terluka

    Di belakang rumah
    Ia duduk merangkul sunyi
    Memandang jauh menembus waktu
    Aliran darahnya melambat
    Denyut nadinya menampakkan penyesalan
    Lengkap sudah perangkap kenangan

   
Di depan perapian
Ia membuka album kenangan
Kenangan bersama lelaki yang sempat ia puja
Lelaki yang kerap hadir dalam mimpi-mimpinya
Lelaki yang wangi tubuhnya pernah ia candui
Lelaki yang telah menggetarkan rindu tanpa batas kendali
Lelaki yang matanya membianglala
Lelaki yang kini menorehkan luka
Menyayat pedih

    Di belakang rumah
    Ia membalik tiap lembar ingatan
    Ingatan bersama perempuan pujaannya
    Perempuan yang tersusun dari bongkahan mimpinya
    Perempuan yang papar parasnya ingin ia singgahi
    Perempuan yang meledakkan hasrat bercumbu tanpa henti
    Perempuan yang binar ronanya menyeduh senja
    Perempuan yang kini membilur duka
    Menandas perih

Di depan perapian
Ia tatap satu persatu foto kenangannya itu
Dan bayangannya menuntun kembali ke masa-masa lalu
Masa-masa bahagia tercampur luka
Masa-masa manis tercampur getir

    Di belakang rumah
    Ia sebar ingatan demi ingatan dengannya itu
    Dan senyumnya  menarik tubuhku ke ruang rindu
    Ruang  kemesraan yang menggores pilu
    Ruang  warna-warni  yang bercorak abu

   
Di depan perapian
Air mata kini berguguran dari pipi pasinya
ia robek kenangan itu
Kemudian dilemparkan ke dalam perapian
Semua kenangan itu hangus terbakar
Tak bersisa satu pun
Dalam lirih ia berkata,
"Cerita tentang kita berakhir sampai di sini."

    Di belakang rumah
    Nestapa menjalar melingkari jiwanya
    Ia coba bangun menara  kenangan itu
    Kemudian disusunnya dengan peluh sesal membatu
    Semua kenangan membentuk tugu
    Tak tertinggal satu pun
    Kepada angin ia titipkan tanya,
    "tak adakah benih maaf yang tersisa?”
24 Januari 2018
Lila Saraswaty

    Noe Ichwanushofa
Memendam Cinta
Untuk sementara waktu kami menumpang di rumahnya
Terletak di lorong pemukiman kumuh ujung Jakarta
Dikelilingi manusia-manusia yang merintih jalani hidup 
Sayup-sayup terdengar suara penyanyi dangdut pinggiran dari radio usang
Bau amis got menyengat mengendap masuk setiap ku buka jendela
Riuh anak-anak jalanan berteriak sambil bertelanjang dada
Di sini Matahari dan Bulan enggan menampakkan diri
Karena langit terhalang beton-beton jalan layang

Dia adalah sepupu jauh dari Bambang
Berkacamata dengan sorot mata letih
Raut wajah lugu dan amat pemalu
Rambut klimis dengan bau minyak rambut menyengat
Dan wajah yang tertutup penuh jerawat

Ah…dia lucu sekali ketika sedang tersipu-sipu malu
ketika aku menangkap basah matanya
Sedang menatapku dengan binaran penuh damba
Atau ketika sekedar lirik acuh tak acuh tapi menyimpan suka
waktu daster basahku tersingkap hingga lutut ku nampak
Saat aku sedang mencuci
Dan dia menuangkan air dari perigi
Atau ketika dia menahan nafas
Waktu aku bergelayut manja di lehernya
Atau ketika dia terdiam gagu
Waktu dia berpapasan denganku yang baru selesai mandi dengan rambut masih basah
Atau ketika wajahnya menunduk malu
waktu aku mengambil sebutir nasi yang tertinggal di ujung bibirnya

Dia adalah  Singgih
Dia yang selalu menyendiri dalam remang-remang malam
Dia yang selalu berjarak dengan ramai
Dia yang selalu tercekat dalam kata-kata
Dia yang diam-diam memendam cinta

Kalibata 26 Januari 2018
Lila Saraswaty

Tuesday, January 16, 2018

Bunga-Bunga Sastra

Hei!
Janganlah kau petik saat ia masih menjadi putik
Lihatlah putik bunga itu sebentar lagi merekah cantik
Warna-warni aneka swarna menarik sukma
Tumbuh subur di taman sastra

Bayangkanlah!
Bulir-bulir hujan syahdu menembus tanah hati
Basah diserap akar-akar rasa
Tangkai keyakinannya kuat dengan kalam alam
Dahan-dahan pemahaman perlahan merimbun jiwa
Bait-bait kelopaknya merekah dalam kata-kata

Saksikan saja!
bunga itu hidup bermekaran indah bestari;
terbang berkelana mengikuti hembusan angin;

jatuh ke bumi dan membusuk di tanah;
atau perlahan terkulai layu terbakar Matahari

Lila Saraswaty
Kalibata, 16 Januari 2018

Kehidupan… Kehidupan berdetak saat mentari bersinar kemilau Saat tirai malam berganti tirai langit biru Dan sayap-sayap mimpi men...