Akhir-akhir ini aku kerap melihat bayanganmu
Mengendap-endap di antara mimpi dan memoriku
-Lila-
Friday, March 9, 2018
Retak Mengelopak
Hari hampir gelap
Mengapa bibir kita tak juga saling cakap
Kata-kata seperti tersekap
Di antara ruang-ruang senyap
Cintaku merana
Terbang tersapu angin dan jatuh ke telaga keheningan
Rinduku merintih
Terkulai perih tak berdaya di sudut ruang-ruang sunyi
Wajah rupawan potret kebahagiaan
Ternyata hanya sekedar dusta tipuan
Pikiranku membelukar gundah
Memapah getar rasa yang kini melemah
Retak mengelopak
Aku berada di persimpangan jalan
Dan genggaman kita pun kian terlepas
Sinar mata tak lagi hangat
Dan malam-malam semakin dingin dan pekat
Haruskah ku cari cinta lain di luar sana
Sebagai lelaki yang kini papa sentuhan
Bisa saja sewaktu-waktu langkahku tergelincir
Mengotori ikatan suci
Ah...ini lah ketakutan yang akut
Berharaplah ini hanya gurauan
Duduklah sini di sebelahku
Sudah lama kita tidak duduk mesra berdampingan, bukan?
Kemarilah.... Kita dengarkan kembali rekaman senandung tawa renyah rumah kita
Dulu ketika di awal kita meniti menggapai mimpi
Dulu ketika cinta kita bergelora sengit
Dulu ketika kau sering merebah manja di sudut dadaku
Dulu ketika jemari kita bersentuhan dan bibir kita bertemu
Aku berharap kau ingat itu sayang
Pernah di satu malam
Di tengah keheningan kelam
Saat itu matamu masih terpejam
Aku menangis sepuas-puasnya
Dan, merapal doa-doa yang panjang
Untukmu, untuk kita
Perempuanku
Biar hati remuk redam
Biar jiwa merintih letih
Aku masih berkeras bertahan di sini
Lila Saraswaty
Kalibata, 1 Maret 2018
Hari hampir gelap
Mengapa bibir kita tak juga saling cakap
Kata-kata seperti tersekap
Di antara ruang-ruang senyap
Cintaku merana
Terbang tersapu angin dan jatuh ke telaga keheningan
Rinduku merintih
Terkulai perih tak berdaya di sudut ruang-ruang sunyi
Wajah rupawan potret kebahagiaan
Ternyata hanya sekedar dusta tipuan
Pikiranku membelukar gundah
Memapah getar rasa yang kini melemah
Retak mengelopak
Aku berada di persimpangan jalan
Dan genggaman kita pun kian terlepas
Sinar mata tak lagi hangat
Dan malam-malam semakin dingin dan pekat
Haruskah ku cari cinta lain di luar sana
Sebagai lelaki yang kini papa sentuhan
Bisa saja sewaktu-waktu langkahku tergelincir
Mengotori ikatan suci
Ah...ini lah ketakutan yang akut
Berharaplah ini hanya gurauan
Duduklah sini di sebelahku
Sudah lama kita tidak duduk mesra berdampingan, bukan?
Kemarilah.... Kita dengarkan kembali rekaman senandung tawa renyah rumah kita
Dulu ketika di awal kita meniti menggapai mimpi
Dulu ketika cinta kita bergelora sengit
Dulu ketika kau sering merebah manja di sudut dadaku
Dulu ketika jemari kita bersentuhan dan bibir kita bertemu
Aku berharap kau ingat itu sayang
Pernah di satu malam
Di tengah keheningan kelam
Saat itu matamu masih terpejam
Aku menangis sepuas-puasnya
Dan, merapal doa-doa yang panjang
Untukmu, untuk kita
Perempuanku
Biar hati remuk redam
Biar jiwa merintih letih
Aku masih berkeras bertahan di sini
Lila Saraswaty
Kalibata, 1 Maret 2018
Selamat Tidur Danu
Terdengar berita, kau diringkus
Di lorong-lorong lubang tikus
Aksi bulusmu terendus
Ternyata pulusmu hasil modus
Kini, anak dan istrimu tak lagi terurus
Tinggal kau sendiri yang semakin kurus
Bagaimanakah rasanya Danu?
Duduk di kursi pesakitan
Tersekap dalam tirai besi berkarat
Terpasung dinding-dinding dingin
Tak ada lagi kerat uang di saku seragam kebanggaan
Kakimu tak lagi mengusik dosa di bawah kursi empuk jabatan
Tak bisa lagi kau lihat tawa bahagia seringan bulu dari anak dan istrimu
Tak bakal lagi kau reguk bibir dan menciumi aroma bunga di belahan dadaku
Sungguh kau telah kehilangan semuanya, Danu.
Apa yang kau lihat di dalam jeruji itu?
Detik yang mati
Matahari menggantung semu
Ruang-ruang pengap dan gelap
Gambar-gambar yang memudar
Mimpi yang telah pergi
Apa kabarmu, Danu?
Dari luar jeruji aku menyapamu
Kenapa kini kau membisu
Kau tertunduk terpuruk malu
Tatapan matamu sayu
Ku jelajahi raut wajahmu yang kini layu
Dan, perlahan mataku menggerimis menatapmu
****
Di sudut ruang gelap kamarku
Di bawah redup rembulan
Ingatanku kembali terburai
Sekelebat bayangmu memaku
diam di malam yang muram
Wajahmu menempias sedih di jelaga mataku
Lirih kupanjatkan doa untukmu
Semoga ini adalah titik balik
Pertemuan titik sinar terang
Di mata hatimu
Selamat tidur Danu....
Lila Saraswaty
25 Februari 2018
Kepingan Kisah Marsiti
Terdengar berita, kau diringkus
Di lorong-lorong lubang tikus
Aksi bulusmu terendus
Ternyata pulusmu hasil modus
Kini, anak dan istrimu tak lagi terurus
Tinggal kau sendiri yang semakin kurus
Bagaimanakah rasanya Danu?
Duduk di kursi pesakitan
Tersekap dalam tirai besi berkarat
Terpasung dinding-dinding dingin
Tak ada lagi kerat uang di saku seragam kebanggaan
Kakimu tak lagi mengusik dosa di bawah kursi empuk jabatan
Tak bisa lagi kau lihat tawa bahagia seringan bulu dari anak dan istrimu
Tak bakal lagi kau reguk bibir dan menciumi aroma bunga di belahan dadaku
Sungguh kau telah kehilangan semuanya, Danu.
Apa yang kau lihat di dalam jeruji itu?
Detik yang mati
Matahari menggantung semu
Ruang-ruang pengap dan gelap
Gambar-gambar yang memudar
Mimpi yang telah pergi
Apa kabarmu, Danu?
Dari luar jeruji aku menyapamu
Kenapa kini kau membisu
Kau tertunduk terpuruk malu
Tatapan matamu sayu
Ku jelajahi raut wajahmu yang kini layu
Dan, perlahan mataku menggerimis menatapmu
****
Di sudut ruang gelap kamarku
Di bawah redup rembulan
Ingatanku kembali terburai
Sekelebat bayangmu memaku
diam di malam yang muram
Wajahmu menempias sedih di jelaga mataku
Lirih kupanjatkan doa untukmu
Semoga ini adalah titik balik
Pertemuan titik sinar terang
Di mata hatimu
Selamat tidur Danu....
Lila Saraswaty
25 Februari 2018
Kepingan Kisah Marsiti
Bolehkan ku simpan gantungan kunci ini?
Untuk mengingatkanku pada suatu saat di sebuah kampung yang jalannya berbatu dan dindingnya berpelangi
Untuk membawaku kembali ke kota dimana sepotong strudel dihidangkan dengan secangkir kopi yang wanginya tak lekas pergi
Untuk membuka pintu kenangan itu saat kau meninggalkannya terserak di antara langkah kaki orang-orang yang bergegas pulang
Baiklah aku sederhanakan,
Untuk memanggilmu kembali mengingat hangat nafasku
Di hati yang hanya sepotong ini aku hanya bisa mengingat matamu
Lila Saraswaty
Malang, 20 Januari 2018
Untuk mengingatkanku pada suatu saat di sebuah kampung yang jalannya berbatu dan dindingnya berpelangi
Untuk membawaku kembali ke kota dimana sepotong strudel dihidangkan dengan secangkir kopi yang wanginya tak lekas pergi
Untuk membuka pintu kenangan itu saat kau meninggalkannya terserak di antara langkah kaki orang-orang yang bergegas pulang
Baiklah aku sederhanakan,
Untuk memanggilmu kembali mengingat hangat nafasku
Di hati yang hanya sepotong ini aku hanya bisa mengingat matamu
Lila Saraswaty
Malang, 20 Januari 2018
-kepingan kisah cinta Vanya dan Harry-
Rindu yang Tak Boleh
Senyum tersembunyi di antara pori kain tipis
Makin hilang saat kau menunduk manis
Salam dan tangan kau satukan di dada
Memberi tanda selalu terjaga
Engkau berhasil menyembunyikan senyum
Tapi tidak rasa, dik..
...Terpaku getarku saat pertama melihatmu
...Menancapkan rasa yang malu-malu di jelang pagiku yang tersipu
...Bahagia memendar dari balik senyumku
...Bunga-bunga di taman seketika bermekaran
...Kupu-kupu menari kesana kemari
Beberapa kali bertemu tapi bukan untuk menuntaskan rindu
Tegur sapa seadanya
Seolah hati dapat dibohongi
Perhatian itu tampak jelas, dik..
Dari binar ujung mata kenari kau coba mencari
Kemana bayangku pergi
...Ada rindu yang terus bernyawa
...Membawa inginku selalu bertemu
...Pijar senyumanmu menggugat mata ingin terus berada dalam orbitmu
...Tapi aku ingin kau tak tahu
...Dalam tatap acuh tak acuh
...Ada suka menderas dan menghanyutkan
...Di ruang sunyi, ingkarku tak lagi mampu menyingkirkan bayanganmu
Aku bisa apa? Dik...
Bermain dengan hujan pasti basah yang kan terkenang
Memantik cinta dengan mu seperti menari dalam diam
...Usahlah kau tanya mas...
...Hujan tengah menyusun kerangka cerita kita
...Dalam hujan biarkan rasa mengerang dalam diam
...Dalam hujan biarkan rindu menari-nari
Aku mungkin merindu
Pada kedamaian raut mukamu
Yakinlah aku bahwa engkau pantas ditunggu
Apa yang akan menjaga rasa itu?
Perjumpaan yang menautkan jemari
Atau sekedar bertemu senyum yang engkau sembunyikan itu?
Ah, aku jalani saja, dik...
Tak tahu sampai kapan bayangmu mampu membunuh akal sehatku
...Rindu adalah nyanyian syahdu
...Kita adalah melodinya
...Biarkan saja rasa menari mengikuti dentingnya
...Dari jauh ku timang rasa ini
...Meskipun saat ini jemari tak dapat merekat
...Karena kuasa rindu akan mengantarkan kita di jalan pertemuan dengan sendirinya
...Mungkin besok atau lusa
....Apalagi yang bisa kurangkum selain doa
...Selebihnya adalah rindu yang mengembun di nadi cinta
noe_ichwanusshofa
Lila Saraswaty
Rindu yang Tak Boleh
Senyum tersembunyi di antara pori kain tipis
Makin hilang saat kau menunduk manis
Salam dan tangan kau satukan di dada
Memberi tanda selalu terjaga
Engkau berhasil menyembunyikan senyum
Tapi tidak rasa, dik..
...Terpaku getarku saat pertama melihatmu
...Menancapkan rasa yang malu-malu di jelang pagiku yang tersipu
...Bahagia memendar dari balik senyumku
...Bunga-bunga di taman seketika bermekaran
...Kupu-kupu menari kesana kemari
Beberapa kali bertemu tapi bukan untuk menuntaskan rindu
Tegur sapa seadanya
Seolah hati dapat dibohongi
Perhatian itu tampak jelas, dik..
Dari binar ujung mata kenari kau coba mencari
Kemana bayangku pergi
...Ada rindu yang terus bernyawa
...Membawa inginku selalu bertemu
...Pijar senyumanmu menggugat mata ingin terus berada dalam orbitmu
...Tapi aku ingin kau tak tahu
...Dalam tatap acuh tak acuh
...Ada suka menderas dan menghanyutkan
...Di ruang sunyi, ingkarku tak lagi mampu menyingkirkan bayanganmu
Aku bisa apa? Dik...
Bermain dengan hujan pasti basah yang kan terkenang
Memantik cinta dengan mu seperti menari dalam diam
...Usahlah kau tanya mas...
...Hujan tengah menyusun kerangka cerita kita
...Dalam hujan biarkan rasa mengerang dalam diam
...Dalam hujan biarkan rindu menari-nari
Aku mungkin merindu
Pada kedamaian raut mukamu
Yakinlah aku bahwa engkau pantas ditunggu
Apa yang akan menjaga rasa itu?
Perjumpaan yang menautkan jemari
Atau sekedar bertemu senyum yang engkau sembunyikan itu?
Ah, aku jalani saja, dik...
Tak tahu sampai kapan bayangmu mampu membunuh akal sehatku
...Rindu adalah nyanyian syahdu
...Kita adalah melodinya
...Biarkan saja rasa menari mengikuti dentingnya
...Dari jauh ku timang rasa ini
...Meskipun saat ini jemari tak dapat merekat
...Karena kuasa rindu akan mengantarkan kita di jalan pertemuan dengan sendirinya
...Mungkin besok atau lusa
....Apalagi yang bisa kurangkum selain doa
...Selebihnya adalah rindu yang mengembun di nadi cinta
noe_ichwanusshofa
Lila Saraswaty
Dua Mimpi
Di persimpangan senja yang menggerimis resah
Aku mengendus kegelisahanmu
Matamu menatap jauh angan yang kini menggelombang
Lengkung kesedihan menggaris jelas di keningmu
Ku tepikan tanya yang meragu
Meringkuk di ambang ketakutan
Duhai rinduku
Jangan kau beri aku kerling resah itu
Aku pun sama, kepayahan menanggung derita hidup
Tapi aku tak ingin menyerah
Karena perjalanan ini masih jauh
Asa ini masih erat ku rengkuh
Duhai sayangku
Di terik matamu yang jerih
Aku menjemur harapan lirih
Di antara hujan dan pepohonan
Aku ingin sekali berteduh dari penat hidup yang mengaduh
Meski pun aku harus berpeluh
Langkahku masih kukuh menyepuh mimpi
Duhai kasihku
Terlalu dini kau melipat mimpi
Kemarilah...
Genggam jemariku
Meski jiwa merintih letih
Aku akan selalu berada di sampingmu
menapaki hari di tanah gersang
Hingga jelang bahagia kan datang
Duhai cintaku
Kemarilah....
Rebahkan gelisahmu di pangkuanku
Ingin ku bisikkan anganku
Aku mendamba sebuah dunia baru
Dibangun oleh mimpi dan kenyataan
Ada kita di sana
Berdiri berdampingan
****
Mataku menengadah ke langit sementara jemariku membelai rambut kekasihku bambang yang rebah di pangkuanku
Lila Saraswaty
15 Februari 2018
-Kepingan kisah Marsiti-
Di persimpangan senja yang menggerimis resah
Aku mengendus kegelisahanmu
Matamu menatap jauh angan yang kini menggelombang
Lengkung kesedihan menggaris jelas di keningmu
Ku tepikan tanya yang meragu
Meringkuk di ambang ketakutan
Duhai rinduku
Jangan kau beri aku kerling resah itu
Aku pun sama, kepayahan menanggung derita hidup
Tapi aku tak ingin menyerah
Karena perjalanan ini masih jauh
Asa ini masih erat ku rengkuh
Duhai sayangku
Di terik matamu yang jerih
Aku menjemur harapan lirih
Di antara hujan dan pepohonan
Aku ingin sekali berteduh dari penat hidup yang mengaduh
Meski pun aku harus berpeluh
Langkahku masih kukuh menyepuh mimpi
Duhai kasihku
Terlalu dini kau melipat mimpi
Kemarilah...
Genggam jemariku
Meski jiwa merintih letih
Aku akan selalu berada di sampingmu
menapaki hari di tanah gersang
Hingga jelang bahagia kan datang
Duhai cintaku
Kemarilah....
Rebahkan gelisahmu di pangkuanku
Ingin ku bisikkan anganku
Aku mendamba sebuah dunia baru
Dibangun oleh mimpi dan kenyataan
Ada kita di sana
Berdiri berdampingan
****
Mataku menengadah ke langit sementara jemariku membelai rambut kekasihku bambang yang rebah di pangkuanku
Lila Saraswaty
15 Februari 2018
-Kepingan kisah Marsiti-
TEMAN
Teman
Di tengah jatuh tempo yang memenjara
Kalian hadir membawa kelakar tawa
Temani hariku penuh ceria
Sehingga tercipta bahagia tiada tara
Teman
Dalam rentang waktu bersama
Terima kasih telah berbagi rasa
Susah, senang, perih, dan bahagia
Terima kasih telah membuat hidup kian berwarna
Kuning, biru, ungu, merah, dan jingga
Teman
Pagi adalah awal pertemuan kita
Siang selalu punya cerita tentang kita
Sore setia menyimpan rindu untuk kita
Malam syahdu mengantarkan doa untuk kita
Sampai esok kan kembali tiba
Kita tetaplah bersama
Sampai akhir cerita
Kalibata,
10-01-2018
Teman
Di tengah jatuh tempo yang memenjara
Kalian hadir membawa kelakar tawa
Temani hariku penuh ceria
Sehingga tercipta bahagia tiada tara
Teman
Dalam rentang waktu bersama
Terima kasih telah berbagi rasa
Susah, senang, perih, dan bahagia
Terima kasih telah membuat hidup kian berwarna
Kuning, biru, ungu, merah, dan jingga
Teman
Pagi adalah awal pertemuan kita
Siang selalu punya cerita tentang kita
Sore setia menyimpan rindu untuk kita
Malam syahdu mengantarkan doa untuk kita
Sampai esok kan kembali tiba
Kita tetaplah bersama
Sampai akhir cerita
Kalibata,
10-01-2018
Membakar Kenangan
Di depan perapian
Ia duduk memeluk diri
Terpaku tatapannya sendu
Sendat napasnya berat
Pelupuk matanya menyiratkan kepiluan
Sempurna ia tengah terluka
...Di belakang rumah
...Ia duduk merangkul sunyi
...Memandang jauh menembus waktu
...Aliran darahnya melambat
...Denyut nadinya menampakkan penyesalan
...Lengkap sudah perangkap kenangan
Di depan perapian
Ia membuka album kenangan
Kenangan bersama lelaki yang sempat ia puja
Lelaki yang kerap hadir dalam mimpi-mimpinya
Lelaki yang wangi tubuhnya pernah ia candui
Lelaki yang telah menggetarkan rindu tanpa batas kendali
Lelaki yang matanya membianglala
Lelaki yang kini menorehkan luka
Menyayat pedih
...Di belakang rumah
...Ia membalik tiap lembar ingatan
...Ingatan bersama perempuan pujaannya
...Perempuan yang tersusun dari bongkahan mimpinya
...Perempuan yang papar parasnya ingin ia singgahi
...Perempuan yang meledakkan hasrat bercumbu tanpa henti
...Perempuan yang binar ronanya menyeduh senja
...Perempuan yang kini membilur duka
...Menandas perih
Di depan perapian
Ia tatap satu persatu foto kenangannya itu
Dan bayangannya menuntun kembali ke masa-masa lalu
Masa-masa bahagia tercampur luka
Masa-masa manis tercampur getir
...Di belakang rumah
...Ia sebar ingatan demi ingatan dengannya itu
...Dan senyumnya menarik tubuhku ke ruang rindu
...Ruang kemesraan yang menggores pilu
...Ruang warna-warni yang bercorak abu
Di depan perapian
Air mata kini berguguran dari pipi pasinya
ia robek kenangan itu
Kemudian dilemparkan ke dalam perapian
Semua kenangan itu hangus terbakar
Tak bersisa satu pun
Dalam lirih ia berkata,
"Cerita tentang kita berakhir sampai di sini."
...Di belakang rumah
...Nestapa menjalar melingkari jiwanya
...Ia coba bangun menara kenangan itu
...Kemudian disusunnya dengan peluh sesal membatu
...Semua kenangan membentuk tugu
...Tak tertinggal satu pun
...Kepada angin ia titipkan tanya,
...“tak adakah benih maaf yang tersisa?”
24 Januari 2018
Lila Saraswaty & Noe Ichwanushofa
Di depan perapian
Ia duduk memeluk diri
Terpaku tatapannya sendu
Sendat napasnya berat
Pelupuk matanya menyiratkan kepiluan
Sempurna ia tengah terluka
...Di belakang rumah
...Ia duduk merangkul sunyi
...Memandang jauh menembus waktu
...Aliran darahnya melambat
...Denyut nadinya menampakkan penyesalan
...Lengkap sudah perangkap kenangan
Di depan perapian
Ia membuka album kenangan
Kenangan bersama lelaki yang sempat ia puja
Lelaki yang kerap hadir dalam mimpi-mimpinya
Lelaki yang wangi tubuhnya pernah ia candui
Lelaki yang telah menggetarkan rindu tanpa batas kendali
Lelaki yang matanya membianglala
Lelaki yang kini menorehkan luka
Menyayat pedih
...Di belakang rumah
...Ia membalik tiap lembar ingatan
...Ingatan bersama perempuan pujaannya
...Perempuan yang tersusun dari bongkahan mimpinya
...Perempuan yang papar parasnya ingin ia singgahi
...Perempuan yang meledakkan hasrat bercumbu tanpa henti
...Perempuan yang binar ronanya menyeduh senja
...Perempuan yang kini membilur duka
...Menandas perih
Di depan perapian
Ia tatap satu persatu foto kenangannya itu
Dan bayangannya menuntun kembali ke masa-masa lalu
Masa-masa bahagia tercampur luka
Masa-masa manis tercampur getir
...Di belakang rumah
...Ia sebar ingatan demi ingatan dengannya itu
...Dan senyumnya menarik tubuhku ke ruang rindu
...Ruang kemesraan yang menggores pilu
...Ruang warna-warni yang bercorak abu
Di depan perapian
Air mata kini berguguran dari pipi pasinya
ia robek kenangan itu
Kemudian dilemparkan ke dalam perapian
Semua kenangan itu hangus terbakar
Tak bersisa satu pun
Dalam lirih ia berkata,
"Cerita tentang kita berakhir sampai di sini."
...Di belakang rumah
...Nestapa menjalar melingkari jiwanya
...Ia coba bangun menara kenangan itu
...Kemudian disusunnya dengan peluh sesal membatu
...Semua kenangan membentuk tugu
...Tak tertinggal satu pun
...Kepada angin ia titipkan tanya,
...“tak adakah benih maaf yang tersisa?”
24 Januari 2018
Lila Saraswaty & Noe Ichwanushofa
Bisu Puisi
Pernah di satu pagi kita bersama
Saat kita tidak bisa bersama
Menyesapi kopi menciumi wangi pipi
Mawar itu patah dan kau tertusuk duri
Setelah pagi kau bisu puisi
Pernah di satu siang kita ada
Saat kita tidak seharusnya ada
Memeluk lekuk mengendus tengkuk
Buah itu jatuh ke lantai dan sekali lagi kau merunduk
Setelah siang kau bisu puisi
Pernah di suatu senja kita semeja
Saat kita tak seharusnya mendamba
Mananggalkan helai demi helai gelora cinta
Buku itu minyampan ingatanmu terserak menggelincir dosa
Setelah senja kau bisu puisi
Pernah di suatu malam kita menunggu
Saat kita tak seharusnya bertemu
Di mejaku secangkir kopi tersedu
Menjelang malam kau lupa mematikan lampu
Setelah malam kau bisu puisi
Lila Saraswaty
Solo, 9 Februari 2018
Pernah di satu pagi kita bersama
Saat kita tidak bisa bersama
Menyesapi kopi menciumi wangi pipi
Mawar itu patah dan kau tertusuk duri
Setelah pagi kau bisu puisi
Pernah di satu siang kita ada
Saat kita tidak seharusnya ada
Memeluk lekuk mengendus tengkuk
Buah itu jatuh ke lantai dan sekali lagi kau merunduk
Setelah siang kau bisu puisi
Pernah di suatu senja kita semeja
Saat kita tak seharusnya mendamba
Mananggalkan helai demi helai gelora cinta
Buku itu minyampan ingatanmu terserak menggelincir dosa
Setelah senja kau bisu puisi
Pernah di suatu malam kita menunggu
Saat kita tak seharusnya bertemu
Di mejaku secangkir kopi tersedu
Menjelang malam kau lupa mematikan lampu
Setelah malam kau bisu puisi
Lila Saraswaty
Solo, 9 Februari 2018
Subscribe to:
Posts (Atom)
Kehidupan… Kehidupan berdetak saat mentari bersinar kemilau Saat tirai malam berganti tirai langit biru Dan sayap-sayap mimpi men...